Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Kelompok Belajar Bersama (KBB)

Wednesday, 23 August 2017

Antara Dakwah dan Politik

Pada dasarnya kita sepakat bahwa esensi dakwah adalah mengajak umat manusia untuk masuk ke dalam suatu perangkat sistem ilahi: Islam, dan berujung pada inti kesadaran tauhid.
Akar kata dakwah berasal dari kata daa’a-yad’u-da’wah, yang memiliki arti ajak–mengajak–ajakan, jadi terdapat gambaran jelas, seperti apa metode dakwah yang sesungguhnya, yakni mengajak. Gerakan dakwah bisa melewati jalur struktural maupun kultural, tinggal bagaimana menyesuaikan konteks yang pas untuk masyarakat yang menjadi garapan dakwah tersebut.
Pertama jalur struktural, adalah metode dakwah yang dilakukan melalui jalur yang sifatnya politis, pertarungan dakwah di medan politik memiliki risiko yang sangat besar karena medan yang dimasuki oleh para aktivis dakwah adalah lingkaran kekuasaan, hal ini bisa saja menimbulkan efek rentan akan libido kekuasaan yang setiap saat bisa meracuni visi dakwah.
Kemudian yang kedua jalur kultural, adalah metode dakwah yang dilakukan dengan variasi teknik yakni bisa lewat perdagangan, perkawinan, pendidikan, wacana, dll. Jalur kultural merupakan akar dari dakwah itu sendiri, yang pada gilirannya ketika akar tersebut sudah tertancap kuat maka selanjutnya manuver dakwah bisa masuk ke medan politik. Jadi, idealnya adalah dakwah mesti memperkuat basis akar rumput (grassroot) terlebih dahulu, dan hal ini terus dilakukan secara berkesinambungan sampai tingkat kematangan aktivis dakwah pada wilayah kultural menemui masanya untuk selanjutnya masuk ke dalam wilayah politik praktis.
*Dakwah dan Politik Praktis*
Ketika dakwah memasuki ranah politik praktis yang tentunya akan menempuh medan yang sangat terjal karena akan bersinggungan dengan rintangan-rintangan yang bisa-bisa membawa si da’i lupa akan misinya untuk berdakwah. Perlunya seseorang yang mampu dan kuat menghadapi segala risiko yang akan ditimbulkan manakala dakwah kita memasuki ranah perpolitikan praktis.
Oleh karena itu, yang perlu diingat oleh siapa saja yang akan memasuki duni politik praktis sebagai media dakwahnya dengan membawa misi Islam tidak akan terlepas dari berbagai intimidasi dari kalangan yang tidak suka akan misi dakwah Islam.
Jika kita ingin berhasil dalam dakwah menyiarkan Islam, kita bisa mempelajari sejarah keberhasilan Nabi Muhammad saw. Beliau berhasil menata kehidupan baru hanya dalam waktu 23 tahun. Sebuah presatsi yang cemerlang di  mana beliau bisa menyatukan suku-suku Arab yang berselisih satu sama lainnya dan pada akhirnya ketika kekuasaan Islam terus merangkak sampai ke Spanyol.
Keberhasilan Nabi Muhammad swt., dalam menyatukan suku-suku Arab ke dalam satu ikatan yang mana kerajaan Persia dan Romawi Timur sama sekali tidak siap menghadapi peristiwa besar yang terjadi setelah pengabungan itu. Antara tahun 634 dan 656, tentara Arab berhasil menghancurkan dan memecah belah kedua kekuatan adidaya itu. Jantung kawasan Eurasia-Palestina, Suriah, Irak, Mesir, Persia dan Oxus-jatuh ke tangan mereka. Lima puluh tahun kemudian, mereka telah mencapai kawasan Atlantik dan Indus. (Antony Black: 2006. hal. 35)
Perlunya Persatuan Umat
Dalam pesta demokrasi mendatang, Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim, dapat dibayangkan akan mendominasi suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi hal tersebut sepertinya tidak bisa menjadi kenyataan, karena banyaknya partai berasaskan Islam yang sama-sama ingin menjadi pemenang. Hal ini terus memicu perselisihan antara sesama partai yang berasaskan Islam, dan akhirnya rakyat menjadi korban. Rakyat menjadi terpecah dan mereka bingung hendak ke mana menentukan pilihan, sedangkan asasnya sama-sama Islam. Mereka berada pada wilayah skeptis tentang partai Islam yang hendak mereka pilih. Dan bukan suatu hal yang mustahil, pada akhirnya umat Islam memilih partai politik yang tidak berasaskan Islam.
Dakwah yang mengemban misi Islam, jika diorganisir dengan baik–meskipun memasuki ranah perpolitikan–bisa tercapai dengan hasil yang baik asalkan tidak kehilangan orentasi utama. Dalam bahasa politik dikenal istilah topdown dan bottom-up, dua istilah tersebut digunakan dalam terminologi perumusan atau pengambilan kebijakan. Sama halnya dengan dakwah, maka pola topdown sering digunakan dalam mengeluarkan keputusan syura, yakni kebijakan dari atas (majelis syura) yang harus dipatuhi oleh kader-kader yang ada dibawahnya.
Sedangkan pola bottom-up digunakan untuk menakar aspirasi-aspirasi yang berkembang di bawah yang pada gilirannya dirumuskan dalam majelis syura guna kepentingan syura itu sendiri. Jadi, dakwah akan terus berlanjut jika suara-suara akar rumput terus mendapat perhatian, dan yang paling penting adalah suara-suara yang beredar dilingkungan dakwah itu sendiri.
Dengan demikian, aspirasi-aspirasi akan terfokus jika suara umat Islam tertuju pada satu sasaran yang tepat jika wadah yang akan menampung aspirasi-aspirasi rakyat tersebut tidak terpecah, sehingga umat Islam tidak perlu bingung lagi menyerukan suarnya. Yang pada akhirnya top-down dan bottom-up akan terjalin secara ‘direct current’ dalam artian berjalan secara satu arah yaitu antara dewan syura dan kader-kadernya.Wallahu a’lam bis-showab.

0 comments:

Post a Comment